01.42 | Posted in
Papa sudah dari tadi mengetok kamarku, dan masuk begitu aku izinkan. Matanya agak kaget melihatku belum cuci muka. Tapi, Papa kemudian tersenyum, dan ikut menempelkan keningnya di kaca jendela. Kami berjajaran, belum juga bicara. Kulirik, kaca di depan Papa pun mengembun, bau rokok yang samar kurasakan keluar.
“Ada apa, Ila? Mau main hujan?” tanya Papa, tanpa mengalihkan wajah.
Aku mengangguk.
“Ila….”
Oalah, Papa pasti tak melihat anggukanku. “Iya… tapi malu, Pa. Nanti pasti Papa meledek, bilang Ila belum dewasa.”
Papa memaling, tersenyum. “Apa hubungannya hujan dan dewasa?”
“Ya ada, Pa. Papa kan tahu, Ila suka mandi hujan. Dari dulu. Dan kalau mandi hujan, Papa juga pasti tahu, paling enak itu telanjang. Nah, kalau Ila telanjang, Papa pasti marah, dan menganggap Ila kekanak-kanakan, atau edan. Iya, kan?”
Papa tertawa, bergelak. Jemarinya mengacak rambutku. “Hari ini tidak sekolah?”
Aku menggeleng. “Malas, Pa.”
“Ya sudah. Tapi jangan lama-lama malasnya.” Papa pergi, setelah mengelus pipiku. Aku tahu, Papa pasti menuju kamar adikku, bertanya ini-itu, selalu begitu sejak dulu.
Aku kembali terperangkap kemalasan. Tak tahu sebabnya. Jendela kubuka, angin yang basah segera menyerbu kamarku. Tapi kemalasan ini tak juga pergi. Aku tak akan sekolah. Bolos. Tanpa surat izin. Tak mungkin kan, menulis “malas” di surat izin? Berbohong dan bilang sakit? Papa pasti akan marah.
Ihh… kenapa ya bisa begini, bahkan keluar kamar pun aku tak tergoda. Mama pasti sibuk di dapur sana. Membuat sarapan, meski sekadar telur ceplok atau dadar. Samar, angin menerbangkan bau dapur ke kamarku, memancing kemeriyuk usus di perutku. Sarapan? Malas ah!
Aku memang diizinkan Papa untuk tak sekolah, jika malas. Papa tidak pernah ingin aku melakukan sesuatu dengan terpaksa. “Kemalasan itu bukan dosa,” kata Papa, “Sepanjang tidak membuat orang lain jadi menderita.” Maksud Papa, aku boleh malas dan tidak melakukan apa pun, jika kemalasan itu tidak membuat rugi orang lain. Bersekolah misalnya. Cuma satu kemalasan yang tak diizinkan Papa, sholat. “Malas pun, semalas-malasnya, kamu harus tetap sholat,” pintanya. Itu harga mati. Aku tak pernah menawarnya, tak pernah berani.
Papa sesungguhnya ayah yang luar biasa. Meski sedikit bicara, tapi seluruh gestur Papa menunjukkan dia sangat care pada keluarga ini. Papa juga sangat menghargai hak pribadi. Ia tidak akan pernah berani masuk kamarku sebelum aku izinkan. Papa juga tak pernah membuka laci mejaku, telepon selulerku, bahkan saku kemeja atau celanaku. Bagi Papa, sesuatu yang belum aku ceritakan, adalah rahasiaku. “Rahasia itu adalah harta berharga bagi setiap orang. Hanya kepada orang yang paling dia cintai, harta itu ikhlas dia bagi,” kata Papa.
Aku selalu tertawa jika Papa bicara begitu. Dan sambil kurangkul, selalu aku “sanggah” ucapannya. “Kalau Ila belum cerita, itu bukan berarti Ila tidak cinta Papa. Ila cuma menunggu, sampai cinta itu bertambah tua. Seperti Papa, hahaha….” Papa biasanya tertawa, dan memencet hidungku.
Papa juga tidak berusaha tampil sempurna. Kalau ke mal, misalnya, Papa masih sering tergoda pada wajah-wajah cantik, dan menatap lama, terkagum-kagum. Papa tak pernah menyembunyikannya. Dulu aku pernah “marah” dan menegur Papa. Tapi dia cuma tertawa, demikian juga Mama.
“Kenapa Ila tidak marah kalau Papa juga memandang Ila, berlama-lama?”
“Lho, memang Ila cantik?”
Papa mengangguk, tersenyum.
“Tapi…, tapi kan Ila anak Papa.”
“Papa juga memandang mereka dengan mata seorang ayah….”
Halah!
Papa tergelak, demikian juga Mama.
Itulah Papaku, demikian dekat denganku. Aku kadang merasa bukan hanya menjadi anaknya, tapi juga sahabatnya. Bahkan, kemesraan Papa membuat aku kadang merasa menjadi “kekasihnya”.
Dan kedekatan itu mulai berubah. Papa bilang, aku harus mulai kenal lelaki, yang bukan Papa. Lelaki yang seusia denganku, dengan emosi dan pikiran yang setara. “Lelaki yang kepadanya, kamu berani membagi sedikit rahasia.”
“Ila sudah punya, Papa.”
“Hah! Siapa?”
“Elang.”
“Lha, itu kan adikmu?”
Aku tertawa.
Papa ingin aku tidak berada terus dalam image Papa sebagai lelaki yang “sempurna”. Papa bilang, kalau aku masih selalu membandingkan seorang lelaki dengan Papa, itu artinya aku belum dewasa. “Perempuan yang dewasa Ila, sudah dapat lepas dari bayang ayahnya. Menerima lelaki lain tanpa membanding. Kamu harus bisa.”
“Papa ingin aku punya pacar?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Papa ingin kamu punya teman lelaki agar kamu dapat belajar bernegosiasi. Percayalah, makin banyak kamu kenal teman lelaki, kamu akan tahu betapa menarik pikiran mereka. Mengenal mereka membuat kamu tidak akan terpedaya, Ila.”
“Apakah lelaki suka memperdaya, Papa?”
“Untuk wanita cantik, iya?”
“Papa juga sering, dong?”
“Lho, kok?”
“Ila kan cantik. Juga Mama.”
Papa tertawa, begitu kerasnya.
Yah, aku memang harus mengenal lelaki. Hmm… tapi siapa ya? Ray? Nggak ah, dia gak asyik. Heru? Ah, dia masih kekanak-kanakan. Viktor? Emoh ah, dia Batak. Hahaha… apa juga hubungannya. Kayaknya si Galang aja deh. Anaknya pendiam, penyendiri, dan suka puisi. Dia agak mirip Papa. Lho, kok malah “mencari” yang mirip Papa? Tidak, tidak boleh. Lalu siapa?
Papa….. Aku bingung niihhh!
Category:
��

Comments

0 responses to "Dewasa, Mencari Lelaki"